Khamis, Februari 14, 2008

umur ibuku


seharusnya ibuku dapat diskon waktu mau ke Singapura naik kereta api. Umur ibuku sudah lebih dari 6o tahun, umur pastinya gak tau karena tidak tercatat di akta kelahiran :D. tapi dipaspornya ibuku lahir tahun 1948, berarti sekarang genap 60 tahun. mungkin belum termasuk kategori warga emas, jadi gak dapat diskon.

kenapa ibu bisa semuda itu dipaspornya?
ibuku juga tidak tahu kapan pastinya dia lahir. tapi ingatannya masih segar kalau bicara tentang umur berapa dia masuk sekolah dasar. ibuku bilang dia masuk sekolah ketika tangannya yang dilingkarkan diatas kepala belum lagi menyentuh telinga. maknanya umur ibu belum tujuh tahun. kemudian berhenti sekolah karena Belanda menduduki Indonesia lagi. kemudian hijrah ke Lampung, jalan kaki berminggu-minggu bersama rombongan sekampung orang Pandeglang. setelah itu, tahun 1950 ibu pun bersekolah lagi. asumsiku kalau tahun 1950 ibu sekolah lagi, berarti umur ibu waktu itu sekitar 8 tahun. so, ibu lahir tahun 1942.

kalau begitu usia ibuku sekarang 66 tahun. sudah sepuh rupanya ibuku...gak sadar :((
tapi tidak semua kakak-kakakku tahu kalau ibu mulai sekolah tahun 1950. mungkin karena males itung-itungan akhirnya nembak aja, maka dipilihlah tahun 1948 sebagai tahun kelahiran ibuku. akhirnya tahun itulah yang dipakai didokumen-dokumen resmi ibu.

tapi akupun puyeng lagi. Abang sulungku lahir tahun 1957. ibu menikah tahun 1955. kalaupun ibu lahir tahun 1942, berarti ketika menikah umur ibuku cuma 13 tahun!!!! tapi ibuku membenarkan, wong waktu kawin katanya baru kelas 5 SD. addduuuhhh...pernikahan dibawah umur inimah namanya hehehe... tapi maklumlah zaman dahulu baru merdeka, pernikahan dini itu biasa. yang penting udah bisa masak dikawinin deh..

yang lucu waktu ibu dan kakakku nomor 2 ke Malaysia tahun 2005 dulu. waktu di imigrasi malaysia ditanya apa hubungan ibu dengan kakakku. ibuku bilang anak beranak. si petugas kaget, lalu mencocokkan tahun lahir. kakakku lahir tahun 1959, dipaspor ibuku lahir tahun 1948, bedanya 11 tahun!!!! heran dong, masa emak ama anak cuma beda umur dikit gitu hehehehe...

1 ulasan:

Tanpa Nama berkata...

Malam ini, saya secara kebetulan menemukan multiply site milik Helvy Tiana Rosa. Di dalamnya ada cerita tentang perjalanan hidupnya, yang membawanya menjadi pengarang sebesar sekarang. Juga, di dalam site itu ada tulisan-tulisan buah hatinya, Abdurrahman Faiz. Kedua ibu dan anak ini mengingatkan saya pada diri saya sendiri dan anak saya.


Pada usia 11 tahun, saya memenangkan lomba mengarang cerpen anak-anak tingkat provinsi, peringkat kedua. Saya mendapatkan trophy yang besarnya hampir sama dengan badan saya. Saya juga mendapat hadiah uang yang saya belikan meja belajar dan mesin ketik. Setelah itu, saya beberapa kali memenangkan lomba menulis tingkat provinsi dan beberapa kali menulis di majalah anak-anak tingkat lokal. Tapi, sudah, itu saja.


Sebagaimana HTR, saya juga melalap buku-buku karya pengarang-pengarang besar, Taufiq Ismail, Kuntowijoyo, NH Dini, dll. Tapi, lagi-lagi, sudah, hanya sampai di situ. Ketika puber, saya menulis cerpen-cerpen cinta untuk dikirimkan ke majalah Gadis. Dua kali ditolak, saya berhenti berusaha. Akhirnya di sinilah saya, bukan siapa-siapa. Saya hanya menulis bila terpaksa, misalnya untuk majalah sekolah, untuk syarat pemilihan mahasiswa teladan, atau untuk memenuhi ambisi saya bisa ke Jepang (syaratnya harus menulis essay). Kata ayah saya, saya adalah pengarang orderan.


Tapi, sebenarnya, ada masalah besar yang saya rasakan bila mencoba menulis cerpen: saya tidak kenal dunia. Saya tidak mampu meresapi apa yang terjadi di lingkungan saya untuk kemudian bisa saya tuangkan dalam sebuah cerpen yang “berisi”. Mungkin karena hidup saya selama ini terlalu mudah dan terlalu datar. Kini pun, saya sudah lima tahun tinggal di Iran, saya sama sekali tidak mampu menulis cerpen apapun tentang Iran. Padahal, bila mendiang Umar Khayam hidup sehari dua hari saja di Iran, hampir pasti ia akan menulis kisah semacam “Seribu Kunang-Kunang di Teheran” (plesetan dari Seribu Kunang-Kunang di Manhattan). Akhirnya, saya terpaksa memutuskan bahwa cerpen memang bukan dunia saya. Saya tidak akan pernah menjadi NH Dini yang tulisan -tulisannya benar-benar saya kagumi. Namun, saya akan terus menulis, setidaknya, demi 'mengikat' pelajaran yang saya temui dalam kehidupan saya. (baca We Learn Something Everyday)


Selanjutnya, ketika membaca tulisan Abdurrahman Faiz berjudul “Bundaku Seorang Relawan”, saya mendadak disentakkan oleh sebuah kesadaran baru. Faiz dan Rana ternyata memiliki satu kesamaan: mereka anak-anak yang sabar. Dalam tulisannya itu, Faiz dengan indah menceritakan kesabarannya saat ditinggal ibunya tiap akhir pekan dalam rangka “dakwah lewat tulisan”.



Tiba-tiba, saya teringat pada Kirana, peri kecil saya yang baru berusia empat tahun. Dia belum bisa menuliskan isi hatinya. Tapi, dia sudah membuktikan kesabarannya dalam menghadapi hamburan kata-kata “tunggu, sebentar, nanti, besok” dari saya. Dengan sabar dia duduk manis di kantor sambil menyibukkan diri dengan buku-buku gambarnya, agar tidak mengganggu saya dan rekan-rekan kerja saya, sampai waktu kantor habis. Dia hanya merengek sedikit ketika kantuknya tiba, lalu terlelap di pangkuan saya, sementara saya terus mengetik tuts-tuts keyboard. Pulang ke rumah, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, seringkali saya kembali duduk di depan komputer. Kirana pun tetap sabar sambil menyibukkan diri dengan boneka dan buku gambarnya, dan hanya sesekali saja mengganggu saya. (Mengganggu??! Tidak sayang, kamu tidak menganggu Mama. Mamalah yang tidak menyadari betapa sabarnya dirimu!)


Walhasil, malam ini, setelah membaca site tsb, sebelum tidur, saya bertanya kepada Kirana, “Kirana sayang sama Mama?” Dia tersenyum dan memeluk saya. Saya kembali bertanya, “Kan Mama suka marah?” Dia kembali tersenyum, lalu menggeleng. Lalu dia memejamkan matanya dan tertidur dalam damai. Sementara saya, bertekad dalam hati untuk menjadi ibu yang lebih baik esok hari.

http://bundakirana.multiply.com

page counter