Jumaat, Januari 25, 2008

Dari "Sang Pemimpi"

Nurmala menjadi genit,"Oke, tapi jangan bilang ada salam dari gue"

Gue? Anak Melayu bilang gue? Sungguh besar tuntutan pergaulan. Beberapa orang sampai harus kehilangan identitas.

"Dibayar berapa loe ama Arai untuk jadi public relationnya begitu?

Ah. Ah. Aku senang pembicaraan seperti dalam buku pop literature ini. Barangkali setelah ini ia akan menanyakan : Arai sudah punya pacar blom? atau kapan elo terakhir ketemu doski?

Dan perutku melilit.
"Kapan sih elo ketemu doi lagi?"
-----------

Diatas adalah petikan dari novel "Sang Pemimpi" Andrea Hirata, penulis Indonesia kelahiran Belitong, sebuah pulau di selat Karimata, yang dulu masuk dalam wilayah Sumatera Selatan. Percakapan antara Zakiah Nurmala dan Ikal. Inilah bagian dari buku ini yang sempat membuatku tertawa. Menertawakan diri sendiri tepatnya. Merasa tersindir oleh sang penulis.

Zakiah Nurmala adalah kawan SMA Arai dan Ikal. Mereka bertemu kembali di Universitas Indonesia, Jakarta. Sebagai orang "daerah", sebutan yang biasa kita pakai untuk orang dari luar Jakarta, Ikal merasa ganjil ketika Nurmala berbicara dalam bahasa gaul Jakarta. Dan perutku melilit. Mungkin terasa geli seseorang tiba-tiba harus merubah gaya bahasanya semata-mata karena tinggal di Jakarta. Tuntutan pergaulan, booo!!!

Teringat diri sendiri :D.
Siapapun orang yang pernah menginjakkan kaki ditanah Jakarta, kesannya kurang gaul kalau tidak memakai kata "loe gue" sebagai kata ganti "kamu saya". Kosa kata ini bukan lagi milik minoritas Betawi, tapi sudah menjadi bahasa wajib orang-orang yang ingin dianggap "bergaul".

Begitulah. Akupun seperti itu. Duluuuu....Sebagai gadis Sunda kampung, merantau ke Jakarta, rasanya bangga bisa ber-elo gue dengan teman-teman, yang juga sama-sama dari berbagai kampung dipelosok Indonesia. Terasa lucu ketika dialek bahasa daerahnya masih kentara, tapi memaksakan diri ber-elo gue. semata-mata karena tuntutan pergaulan.

Tiba-tiba aku merasa "derajatku" naik ketika berbicara dalam bahasa gaul Jakarta. Tak peduli kalau menu makan siang beli di warteg pinggir comberan, yang penting aku kini orang Jakarta, berbahasa Jakarta dengan taburan bahasa slank disana-sini. Tak peduli apakah kosakata itu masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau tidak. Tak peduli kalau aku bukanlah orang yang lahir dan dibesarkan di Jakarta, yang memang tidak berbahasa seperti itu ketika mulai bisa bicara.

Itulah potret sebagian dari kita. Terutama sekali orang kampung seperti aku. Ngaku deeehhh... Orang-orang yang tidak mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, dan karenanya harus men-transformasikan dirinya menjadi sesuatu yang lain untuk dapat diterima dalam sebuah komunitas.

Beberapa orang sampai harus kehilangan identitas.

Jakarta memang merubah segalanya. Ini cerita betul. Syahdan, ada seorang perempuan dari kampung tetangga bekerja sebagai pembantu rumah di Jakarta. Suatu hari dibulan puasa, dia pulang dengan memakai kacamata hitam, rambut dikeriting, bercelana jeans ketat dengan t-shirt yang juga ketat, naik ojek menuju rumahnya. Sampai dikampungku, dia berhenti, dan bertanya tanpa membuka kacamata hitamnya, kepada orang yang tengah berkumpul diwarung. Dia menanyakan arah jalan menuju kampungnya. Beberapa orang terpana. Sebagian mengenali si penanya. Dan meledaklah tawa orang-orang disitu.

Hanya karena merantau ke Jakarta, yang hanya berjarak 100 km dari kampungku, seseorang bisa lupa letak kampungnya (mungkin karena dia memakai kacamata hitam). Dan sangat mungkin sekali diapun telah lupa akan bahasa ibundanya, berganti menjadi "loe gue" bahkan ketika berbicara dengan teman dari kampung sendiri. Menggelikan.

Tiada ulasan:

page counter