Selasa, Januari 29, 2008

Pandeglang di Caping GM

Slamet adalah sebuah teriakan, ketika ia bunuh diri pada umur 48. Mungkin kota Pandeglang mendengarnya. Mungkin Banten dan Jakarta mendengarnya. Tapi hanya 10 menit.

Segera setelah itu, teriakan itu lenyap. Slamet hilang. Ia kembali jadi noktah yang melintas tipis pada layar radar, seperti berjuta-juta titik lain yang diabaikan. Jakarta sibuk. Tuan-tuan sibuk: tuan-tuan berbaris membesuk Suharto, sang patriakh yang gering terbaring di rumah sakit itu, dan dengan tekun tuan-tuan mengikuti naik-turun tekanan darahnya, menyimak jantung dan paru-parunya, berkomat-kamit membaca doa untuknya, dan berseru, makin lama makin keras, maafkan dia, maafkan dia …

Tentu, semua itu karena tuan-tuan orang yang beradab. Tapi tak ada peradaban yang tak berdiri di atas pengakuan bahwa ada mala yang besar, (meskipun tak disebut sebagai dosa), ketika di luar pintu seseorang rubuh, tertindih, hilang harap — dan kita tak menolongnya.

Slamet adalah indikator negatif peradaban.

Lelaki ini seorang pedagang yang tekun, meskipun tetap miskin. Sejak 1993 dengan angkringannya ia jajakan gorengan singkong, tahu, tempe, dan pisang di sekitar jalan Ahmad Yani di Pandeglang. Ia pernah yakin hidup akan lebih baik setelah ia berhenti bekerja di sebuah pom-bensin. Mula-mula memang ada harapan: ia bisa memperoleh untung sedikit sedikit. Kata isterinya, Nuriah, Slamet dapat membawa laba sampai Rp 20 ribu sehari.

klik ENTRI PENUH

Tiada ulasan:

page counter